Page 41 - Bibliospiritual Menemukan Makna Dalam Kata Terbaca
P. 41
Pak Tua itu, lalu kembali menaburkan segenggam
garam, ke dalam telaga itu. Dengan sepotong kayu,
dibuatnya gelombang mengaduk-aduk dan tercipta riak air,
mengusik ketenangan telaga itu. “Coba, ambil air dari telaga
ini, dan minumlah. Saat tamu itu selesai mereguk air itu,
Pak Tua berkata lagi, “Bagaimana rasanya?”. “Segar.”, sahut
tamunya. “Apakah kamu merasakan garam di dalam air
itu?”, tanya Pak Tua lagi. “Tidak”, jawab si anak muda.
Dengan bijak, Pak Tua itu menepuk-nepuk punggung si
anak muda. Ia lalu mengajaknya duduk berhadapan,
bersimpuh di samping telaga itu. “Anak muda, dengarlah.
Pahitnya kehidupan, adalah layaknya segenggam garam, tak
lebih dan tak kurang. Jumlah dan rasa pahit itu adalah sama,
dan memang akan tetap sama. “Tapi, kepahitan yang kita
rasakan, akan sangat tergantung dari wadah yang kita
miliki. Kepahitan itu, akan didasarkan dari perasaan tempat
kita meletakkan segalanya. Itu semua akan tergantung pada
hati kita. Jadi, saat kamu merasakan kepahitan dan
kegagalan dalam hidup, hanya ada satu hal yang bisa kamu
lakukan. Lapangkanlah dadamu menerima semuanya.
Luaskanlah hatimu untuk menampung setiap kepahitan
itu.”
Pak Tua itu lalu kembali memberikan nasehat.
“Hatimu, adalah wadah itu. Perasaanmu adalah tempat itu.
Kalbumu, adalah tempat kamu menampung segalanya. Jadi,
jangan jadikan hatimu itu seperti gelas, buatlah laksana
telaga yang mampu meredam setiap kepahitan itu dan
merubahnya menjadi kesegaran dan kebahagiaan.”
Keduanya lalu beranjak pulang. Mereka sama-sama
belajar hari itu. Dan Pak Tua, si orang bijak itu, kembali
28 | Bibliospiritual: Menemukan Makna dalam Kata Terbaca