Page 25 - Bibliospiritual Menemukan Makna Dalam Kata Terbaca
P. 25
diungkapkan Zohar dan Marshall tentang SI ini memang
sangat menarik apalagi dengan membandingkannya dengan
paradigma kecerdasan yang selama ini sudah jauh lebih
populer dan mapan, yakni IQ dan EQ. Sebelum
ditemukan EQ masyarakat mencitrakan bahwa IQ
merupakan kunci kecerdasan untuk meraih masa depan,
seseorang yang ber-IQ tinggi mempunyai masa depan
cemerlang dan menjanjikan. Sampai-sampai hal itu
merasuk kuat ke dalam ingatan kolektif masyarakat: ber-IQ
tinggi menjamin kesuksesan hidup; sebaliknya, ber-IQ
sedang-sedang saja, apalagi rendah, begitu suram masa
depan hidupnya.
Namun benarkah IQ menjadi kunci kecerdasan
untuk meraih masa depan, dan sekaligus satu-satunya
parameter kesuksesan hidup? Tidak! Inilah jawaban tegas
Daniel Goleman. Fakta bicara lain, bahkan berbalik total.
Sejak dipublikasikannya emotional intelligence (EI/EQ)
tahun 1995, temuan riset terbaru Goleman tersebut lebih
dari cukup untuk berkesimpulan mengapa orang-orang
yang ber-IQ tinggi gagal dan orang yang ber-IQ sedang-
sedang justru menjadi sukses. Tentunya faktor lain untuk
menjadi cerdas yang dipopulerkan Goleman dengan
kecerdasan emosional (EQ). Perhatiannya kemudian tertuju
pada “faktor-faktor lain”, yaitu emotional intelligence:
kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan
menghadapi frustrasi; mengendalikan dorongan hati, dan
tidak melebih-lebihkan kesenangan; mengatur suasana hati
dan menjaga agar beban stres tidak melumpuhkan
kemampuan berpikir; berempati dan berdoa.
Setelah muncul paradigm EQ yang menghebohkan
tersebut, dunia diramaikan lagi dengan temuan yang lebih
komprehensif, yaitu kecerdasan spiritual. Keramaian ini
12 | Bibliospiritual: Menemukan Makna dalam Kata Terbaca