Page 243 - Gemilang Peradaban Islam
P. 243

yang selama ini sering tidak diungkapkan, seperti
                    madzhab  Makhul,  Hasan  Basri,  an-Nakha’i,  Auza,
                    dan Abi Laila. Dengan demikian setiap daerah tidak
                    membatasi diri pada satu madzhab tertentu. Hal ini
                    nantinya   juga   banyak   berpengaruh   dalam
                    penyempurnaan  Majalah  Al-  Ahkam  al-  A’dliyyah
                    tersebut.  Selanjutnya  pada  masa  ini  juga  muncul
                    kodifikasi  hukum  keluarga,  yang  disebut  dengan
                    Qonun Al-Ahwal as Sahsyiah, yang materi hukumnya
                    tidak  terikat  dengan  pendapat  madzhab  tertentu
                    saja.  Sebagian  ulama  pada  periode  modern  ini
                    berpendapat bahwa keseluruhan madzhab tersebut
                    harus dipandang sebagai satu madzhab saja dalam
                    syari’at  Islam,  sedangkan  madzhab-madzhab
                    pribadi, seperti madzhab Hanafi, Maliki, dan Syafi’i,
                    dianggap sebagai salah satu pendapat keseluruhan
                    syari’at.  Dengan  demikian  dalam  melakukan
                    kodifikasi  hukum  para  pakar  hukum  bebas  untuk
                    memilih pendapat mana yang lebih sesuai dengan
                    zamannya  dan  memenuhi  kepentingan  umat.
                    Pemikiran  ini  ingin  menghilangkan  ta’asub
                    madzhab (fanatisme kemadzhaban) yang selama ini
                    menjadi kendala ijtihad.

                 Dari  berbagai  periode  fikih  yang  disebutkan  diatas
            terlihat bahwa fikih itu dimulai dengan cara yang sederhana
            dan  muncul  untuk  permasalahan-permasalahan  praktis
            (amali), kemudian berkembang sampai pada pertimbangan
            yang  sifatnya  bukan  praktis  lagi,  tetapi  sudah  merupakan
            pengandaian,  dalam  arti  menjawab  permasalahan  yang
            belum  terjadi  (yang  lazim  disebut  dengan  istilah  fikih
            taqdiri).  Hal  ini  berakibat  pada  terjadinya  perbedaan
            pendapat  dalam  fikih,  kecenderungan  mempertahankan


            234 | Asep Solikin
   238   239   240   241   242   243   244   245   246   247   248