Page 161 - CERITAKU; Cerita Rakyat Kalimantan Tengah
P. 161
adanya orang Mendawai, yang tinggal di pinggiran Sungai Arut
melarung sesajen dalam perahu kecil ke tengah sungai. Sesajen
tersebut sebagai permohonan untuk menolak bala atau memberi
makan kepada „sahabat‟ dari alam gaib. Selain itu, zaman dulu juga
dikenal istilah “Menenga Ancak," yaitu persembahan berupa sesajen
dalam nampan bulat dan diletakkan atau digantungkan di pohon-
pohon yang mereka anggap keramat.
Kebudayaan itu hampir tidak terlihat lagi sekarang. Sejak orang
Mendawai menganut agama Islam, praktik ritual-ritual budaya yang
berbenturan dengan ajaran Islam dihapuskan. Oleh sebab itu, orang
Mendawai menganggap dirinya orang Melayu. Tidak salah memang,
sebab pengaruh Melayu memang sangat kental. Saya pribadi melihat
ini sebagai keunikan. Saya sendiri mendefinisikan orang Mendawai
sebagai Dayak Pesisir. Dayak yang kental dengan budaya Melayu.
Tidak ada catatan pasti bagaimana asalnya Suku Dayak Ngaju
bermigrasi ke Pangkalan Bun dan kemudian menjadi cikal bakal
Orang Mendawai. Belum ditemukan dokumen sejarah yang secara
pasti menjelaskan secara jelas proses perpindahan ini. Begitu pula
dengan bukti-bukti sejarahnya belum pernah terungkap. Akan tetapi
lazimnya transportasi masyarakat pada zaman dahulu, perpindahan
ini pasti melalui jalur sungai dan laut.
Terdapat sebuah teori yang menyatakan bahwa pada mulanya
orang-orang Mendawai lebih dulu mendiami daerah di pesisir-pesisir
pantai. Sebagai mana kita ketahui, beberapa desa di pesisir Pangkalan
Bun ini menggunakan bahasa Mendawai sebagai bahasa ibu. Seperti
di Desa Bogam, Keraya, Sungai Rengas dan Sebuai. Meski terdapat
sedikit perbedaan dalam cara pengucapan huruf dengan orang-
orang Mendawai yang tinggal di Pangkalan Bun. Hal ini sejalan
dengan pendapat tetua-tetua Mendawai dan diperkuat pula dengan
bukti penemuan beberapa temuan kuno di Desa Sungai Rengas
150 | CERITAKU; Cerita Rakyat Kalimantan Tengah