Page 180 - K.H. Ahmad Dahlan (1868-1923)
P. 180
tatanan kehidupan masyarakat yang sudah berlaku di Kauman. Sanksi akan
dijatuhkan kepada anggota masyarakat yang melakukan pelanggaran secara
berulang, jika pelanggaran tetap dilakukan ditetapkan hukuman untuk pindah
dari wilayah Kauman.
Sejarah Kampung Kauman berkaitan erat dengan keberadaan Masjid
Gedhe Kesultanan yang dibangun pada 29 Mei 1773 (Jatmika, 2010: 19).
Masjid Gedhe memiliki arsitektur budaya Islam Jawa yang unik. Dinding
masjid menggunakan batu kali putih tanpa perekat, sedangkan penopang
bangunan masjid menggunakan kayu jati utuh yang berusia ratusan tahun.
Ornamen-ornamen yang ada di dalam masjid terlihat indah dan megah,
karena dilapisi dengan warna-warna emas yang sangat mencolok.
Masjid Gedhe memiliki bentuk atap tumpang tiga dengan mustaka
membentuk daun kluwih dan gadha. Makna yang terkandung didalamnya
adalah usaha manusia untuk mencapai kesempurnaan hidup harus melalui
tiga tahapan yang terdiri dari hakikat, syariat, dan ma’rifat. Usaha tersebut
harus dilaksanakan secara berurutan mengikuti alur tahapan yang sudah
digariskan.
Kompleks Masjid Gedhe terdiri dari masjid induk dengan satu ruang inti
yang berfungsi sebagai tempat ibadah. Ruang ini dilengkapi dengan mihrab
atau tempat imam memimpin sholat berjamaah. Pada bagian belakang sebelah
kiri mihrab terdapat maksura berbentuk bujur sangkar dengan bahan dasar
1
dari kayu jati dan lantai berbahan marmer serta dilengkapi dengan tombak.
Bersamaan dengan selesainya pembangunan masjid, Sri Sultan
Hamengku Buwono I mengangkat abdi dalem untuk menghidupkan aktivitas
dalam masjid. Abdi dalem ini memegang jabatan keagamaan dan akan
mendapatkan tanah gaduh dari sultan (Pijper, 1987: 1). Berdasarkan latar
belakang tersebut maka masyarakat yang tinggal di Kauman harus beragama
Islam.
Abdi dalem yang mengurus Masjid Gede tidak semuanya tinggal di
1. Tempat pengaman sultan pada saat shalat berjamaah
[178] K.H. Ahmad Dahlan