Page 36 - False Information
P. 36
penyakit coronavirus 2019 (COVID-19) ini.(Hou, Du, Jiang, et al.,
2020) Pada Desember 2019, virus baru bernama COVID-19
dilaporkan di China, dan dalam beberapa bulan terakhir virus
tersebut telah menyebar ke belahan dunia lain, menewaskan banyak
orang. Awalnya, virus itu diduga ditularkan dari hewan ke manusia.
Namun, sekarang ditularkan dari manusia ke manusia melalui
fomites, contact, dan droplet (Sahu & Siddiqui, 2020).
Laporan menunjukkan bahwa per 14 Mei 2020 kasus
COVID-19 lebih dari 4,4 juta secara global. Lebih dari 1,6 juta
pemulihan dilaporkan, dan sekitar 298.000 kematian (Organización
de las Naciones Unidas (OMS), 2020). Menurut penelitian terbaru,
banyak rumor dan berita palsu yang beredar tentang COVID-19.
Semakin sulit membedakan berita palsu dari laporan yang
kebenarannya tidak perlu dipertanyakan . Akibatnya, misinformasi
di media sosial telah memicu kepanikan di kalangan publik terkait
pandemi COVID-19, mendorong pemerintah dan pihak berwenang
untuk mendesak warganya untuk memastikan keaslian berita
sebelum mengedarkannya (Hou, Du, Jiang, et al., 2020) . Dalam
pandangan ini, penelitian telah menemukan bahwa karena urgensi
untuk menemukan pengobatan untuk COVID-19 terus berlanjut di
seluruh dunia, penyebaran berita palsu telah meningkat di media
sosial, yang diyakini banyak ahli berkontribusi pada ancaman
pandemi (Lampos et al., 2020).
Telah ditemukan bahwa informasi palsu mengenai masalah
kesehatan merupakan kemungkinan ancaman bagi kesehatan
masyarakat. Motivasi untuk berbagi informasi palsu tersebut
kurang berkembang (Waszak et al., 2018). Oleh karena itu, ledakan
pertumbuhan penyebaran berita palsu, terutama selama pandemi
membutuhkan penelitian ekstensif untuk memahami sifat dan
alasan di balik penyebaran berita palsu melalui media sosial.
False Information | 31