Page 40 - K.H. Ahmad Dahlan (1868-1923)
P. 40
orang bebas memperoleh pembelajaran ajaran Islam karena memperolehnya
memerlukan persyaratan yang rumit. Dunia sosial pemeluk Islam dipenuhi
selimut tebal jimat, perdukunan, benda dan orang keramat, serta kisah-
kisah membingungkan sehingga hubungan sosial antar pemeluk Islam sulit
3
dikoordinasikan. Tiap orang lebih sibuk dengan diri sendiri tanpa pemimpin
4
yang memberi arah, bahkan cenderung saling bertikai.
Pembaruan Kiai Ahmad Dahlan, membuat ajaran Islam menjadi
sederhana. Tiap orang bisa dengan mudah memperoleh sumber belajar
dengan guru yang setiap saat siap bersedia mendatangi tempat-tempat umat
tinggal, melalui apa yang disebut tabligh (pengajian), sekarang dikenal
sebagai majlis taklim. Kiai Ahmad Dahlan memulai membuka kegiatan
tabligh menjadi kegiatan terbuka, bisa dilakukan siapa saja asal bersedia.
Gerakan yang dikembangkan Kiai Ahmad Dahlan membuat ajaran Islam
menjadi agama rakyat bagi si Ma’un (orang pinggiran) sekaligus berfungsi
bagi pemecahan persoalan kehidupan yang dihadapi umat dalam kehidupan
sehari-hari.
Peran sentral Kiai Ahmad Dahlan dalam perkembangan Muhammadiyah,
sebagai pendiri, juga dalam kaitan dengan pembaruan keagamaan Islam,
dilukiskan dalam catatan budayawan, Kuntowijoyo. Sejarahwan yang
budayawan ini, menyatakan tentang apa dan bagaimana warisan Kiai Ahmad
Dahlan. Gambarannya tentang sosok Kiai Ahmad Dahlan berikut bisa
dijadikan dasar melihat peran sentral Kiai Ahmad Dahlan dalam pembaruan
keagamaan Islam. Juga tentang strategi mengembangkan pembaruan
keagamaan tersebut.
Kuntowijoyo menulis; “Kenyataan sejarah yang sering dilupakan oleh
para pengikut Muhammadiyah (dan “musuh-musuhnya”) ialah bahwa
K.H. Ahmad Dahlan sangat toleran dengan praktik keagamaan zamannya,
3). Lihat laporan Karel A. Steebrink, Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad Ke-19
(Jakarta, Bulan Bintang, 1984)
4). Kiai Ahmad Dahlan, “Kesatuan Hidup Manusia” dalam Abdul Munir Mulkhan, Pemikiran
K.H. Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah dalam Perspektif Perubahan Sosial (Jakarta;
Bumi Aksara, 1990), lampiran khusus hlm 223-230
[38] K.H. Ahmad Dahlan