Page 41 - K.H. Ahmad Dahlan (1868-1923)
P. 41

sehingga ia dapat diterima semua golongan. Sebagai seorang santri, ia
              menjadi pengurus BO, mengajar agama untuk murid-murid  Kweekschool,
              dan dengan mudah bergaul dengan orang-orang BO yang pasti dari golongan
              priyayi yang cenderung abangan. Terbukti pada 1914, ia bermaksud
              mendirikan sekolah Muhammadiyah di Karangkajen, Yogyakarta, teman-
              temannya di BO meminjamkan uang dan menyediakan diri menjadi penjamin
              supaya ia dapat meminjam uang dari bank (Darmo Kondo, 12 Des 1914).
              Akan tetapi, orang hanya mengingatnya sebagai tokoh pemurnian Islam yang
              konsekuen dengan gagasannya. Namun, rupanya Islam murni hanya berlaku
              bagi dirinya sendiri dan orang-orang yang sepaham, tetapi tidak untuk orang
              lain.” 5
                 Kuntowijoyo selanjutnya menulis: “Pada waktu itu, Muhammadiyah
              menghadapi tiga front, yaitu modernisme, tradisionalisme, dan Jawaisme.
              Modernisme sudah dijawab dengan pendirian sekolah-sekolah (termasik HIS
              met de Qur’an dan Scakelshool di Wuluhan itu), kepanduan, dan voluntary
              association  lainnya. Mengenai model jawaban terhadap tradisionalisme
              dan Jawaisme, langkah-langkah K.H. Ahmad Dahlan akan dibicarakan di
              bawah ini. ...terhadap tradisionalisme K.H. Ahmad Dahlan menggunakan
              tabligh (penyampaian) dengan mengunjungi murid-muridnya, lebih daripada
              menunggu mereka datang. Padahal waktu itu “guru mencari murid” adalah
              aib sosial-budaya. K.H. Ahmad Dahlan yang menjadi Ketua Hoofd-Bestuur
              Muhammadiyah, beberapa tahun kemudian bermukim di Makkah, relatif
              cukup umur (lahir 1868), khatib Mesjid Besar Kesultanan, anggota pengadilan
              agama Kesultanan, penasehat  agama CSI, dan sebenarnya sudah berhak
              menjadi guru yang didatangi murid. Tetapi tidak, ia memilih mengunjungi
              para muridnya. Penampilannya tidak lebih dari guru mengaji masa kini.
              Surat kabar yag terbit di Solo, Bromartani, pada 2 Zulkaidah (?) 1915
              memberitakan bahwa ia mengajar anak-anak perempuan di Solo, kemudian
              8 September 1915 dia dikabarkan mengantar murid-murid berekreasi di Sri
              Wedari.” 6

              5).  Kuntowijoyo,  ‘Menghias  Islam”  dalam  Abdul  Munir  Mulkhan,  Marhaenis
                 Muhammadiyah: Ajaran dan Pemikiran K.H. Ahmad Dahlan  (Yogyakarta, Galang
                 Pustaka, 2013), hlm 18.
              6).   Kuntowijoyo, “Menghias ....”, hlm 18-19.
                                                                    K.H. Ahmad Dahlan    [39]
   36   37   38   39   40   41   42   43   44   45   46