Page 42 - K.H. Ahmad Dahlan (1868-1923)
P. 42

Saat itu, “Tabligh yang sekarang tampak sebagai perbuatan biasa, pada
                   waktu itu adalah perbuatan yang luar biasa. Setidaknya tabligh mempunyai
                   dua implikasi, yaitu perlawanan tak langsung terhadap idolatri  (pemujaan
                     ulama  da  perlawana  ta  langs  terhada  mistifikas  agama
                   (agama dibuat misterius). Seperti diketahui pada waktu itu kedudukan
                   ulama dalam masyarakat sangat tinggi. Mereka adalah mediator antara
                   manusia dan Tuhan, elite agama dalam masyarakat, dan guru (baca: guru)
                   yang menyampaikan agama. ...maka kedudukan sebagai mediator itulah
                   yang terancam  oleh kegiatan tabligh. Tabligh menjadikan penyampai
                   agama sebagai orang sehari-hari yang tidak keramat. Kegiatan menyiarkan
                   agama telah dibuat kemanungsan, kekeramatan ulama badhar  (batal) oleh
                   tabligh. Monopoli ulama atas agama, yang dimungkinkan oleh budaya lisan,
                   dihilangkan oleh tabligh.” 7
                       “Selanjutnya tabligh juga merupakan perlawanan tak langsung terhadap
                   mistifikasi  agama, yaitu pengaburan agama, agama dianggap misterius,
                   tinggi, dan adiluhung yang hanya patut diajarkan oleh orang-orang terpilih
                   (tuanku, guru, kaiai, tuan guru). Dengan tabligh agama yang semual misterius
                   menjadi agama  yang sederhana, terbuka, dan accesible  bagi setiap orang.
                   Agama yang semula bersifat esoteris-mistis milik kaum virtuosi  (spsialis)
                   menjadi agama etis rasional milik orang awam.” 8
                       “...menghadapi Jawaisme K.H. Ahmad Dahlan menggunakan metode
                   positive action  (...mengedepankan amar makruf) dan tidak  secara frontal
                   menyerangnya (nahi munkar). Dalam Suwara Muhammadiyah      Tahun
                   1, Nomor 2, 1915 dalam artikel tentang macam-macam shalat sunnah, ia
                   menyebutkan bahwa keberuntungan (begjo, rahayu) itu semata-mata karena
                   kehendak Tuhan, dan shalat sunnah adalah salah satu jalan meraihnya. Itu
                   berarti bahwa keberuntungan tidak disebabkan oleh pesugihan (jimat kaya),
                   minta-minta di kuburan keramat, dan memelihara tuyul. Itu berarti pula
                   sebuah  demitologisasi, karena mitos-mitos ditolak. Rupaya ia sadar betul
                   bahwa cita-cita  kemajuan yang waktu itu sedang populer akan mendapat
                   7).   Ibid., hlm 19.
                   8).   Ibid., hlm 19-20.

               [40]    K.H. Ahmad Dahlan
   37   38   39   40   41   42   43   44   45   46   47