Page 95 - K.H. Ahmad Dahlan (1868-1923)
P. 95
gedung sekolah dengan memberi infaq, sodaqoh, dan zakat (baca: filantropi).
Demikian pula halnya dengan pembangunan tempat ibadah berupa musolla
dan masjid. Gerakan ini pula yang memulai membangun tempat ibadah
(musolla) di tempat umum, di pasar, stasiun kereta api, dan terminal bus.
Pembagia da korba ba fakir-mis sepe pembagia zakat-fitra
Melalui penafsiran baru, masyarakat digerakkan memenuhi ajaran
Islam sekaligus memecahkan problem sosial dan ekonomi. Muhammadiyah
pula yang mempelopori tata-kelola perjalanan ibadah haji. Demikian pula
mempelopori penyampaian khutbah dalam bahasa daerah (waktu itu Jawa
dan Melayu) bersamaan dengan penerjemahan kitab suci Al-Qur’an dalam
bahasa Jawa dan Melayu (saat Muhammadiah berdiri bahasa Indonesia
belum terbentuk), kemudian ke dalam bahasa Indonesia.
Secara kultural warga muslim negeri ini adalah pengikut Muhammadiyah,
karena sudah mengikuti apa dipelopori gerakan ini. Jika tahun 1970-an, orang
masih memandang sekolah, bukan madrasah, itu haram, kini berebut terlibat
dalam pendidikan modern tersebut. Jika di masa lalu berobat ke rumah
sakit itu meniru penjajah, kini orang segera pergi ke Puskesmas saat merasa
sakit. Banyak orang sekarang ini memaksa diri “menjadi Muhammadiyah”.
Mengapa? Karena saat mendirikan lembaga pendidikan, walaupun belum
memenuhi sarat dan rukunnya, meminta yang berwewenang segera
menerbitkan ijin operasional.
Ironinya, dalam suasana budaya yang demikian itu, aktivis gerakan ini
“merasa disaingi” oleh pengelola pendidikan dan kesehatan yang bukan
berada dibawah simbol Muhammadiyah. Aktivis itu kurang menyadari
bahwa suasana itu merupakan salah satu indikator keberhasilan dakwah
Muhammadiyah mendorong ummat menjadi terlibat dalam kemodernan.
Muhammadiyah-lah yang sejak lama mendorong dan memprovokasi agar
umat pemeluk Islam negeri ini memiliki kesadaran kesehatan, mengenyam
pendidikan modern, dan mengelola kegiatan ibadah yang berdimensi sosial
dengan tata-kelola modern.
K.H. Ahmad Dahlan [93]