Page 96 - K.H. Ahmad Dahlan (1868-1923)
P. 96
Kini bermunculan organisasi sosial yang mengelola zakat dengan
tata-kjelola modern profesional seperti Dompet Dluafa. Demikian pula
halnya dengan berdirinya berbagai lembaga pendidikan dan kesehatan dari
sekelompok masyarakat yang bahkan menyatakan “anti Muhammadiyah”.
Organisasi atau yayasan sosial demikian itu terkadang tampak lebih sukses
dalam mengelola kegiatan sosio-ritual dibanding pelopornya.
Di saat Muhammadiyah bisa disebut “berhenti berijtihad”, partisipan
kegiatan Mgerakan ini seolah berlomba melakukan kegiatan sosio-ritual yang
dulu dipelopori Muhammadiyah. Dalam situasi demikian inilah, penting bagi
aktivis gerakan ini untuk memahami ulang gagasan dasar sosio-ritual yang
dulu dipelopori Kiai Haji Ahmad Dahlan. Melalui pemahaman kembali itu
kita bisa melanjutkan atau melakukan transformasi atau bahkan melakukan
pembaruan jilid kedua dengan tujuan utama “memecahkan berbagai problem
sosial-kemanusiaan” warga bangsa ini.
Saatnya dipertimbangkan untuk memperluas tradisi sosio-ritual sebagai
praktik berorganisasi dalam gerakan Muhammadiyah sebagai virus yang
menyebar menjadi etika kehidupan kebangsaan negeri ini. Tanpa harus
berpolitik, gerakan ini bisa memanfaatkan tradisi sosi-ritual berbasis pada
komunitas stakeholder AUM bagi peningkatan praktik kebangsaan yang
lebih menjanjikan kehidupan yang lebih sejahtera dan manusiawi sesuai cita-
cita founding fathers.
G3. Gerakan Budaya Dakwah Luar Ruang
Dakwah sebenarnya merupakan kegiatan edukasi luar ruang, sementara
praktik edukasi (pendidikan) lebih bekerja dalam ruang. Secara keseluruhan,
dakwah dan pendidikan, adalah merupakan kegiatan budaya, yaitu suatu
kegiatan yang fokus pada pengembangan mental atau cara pandang dan sikap
hidup. Demikian pula halnya dengan Muhammadiyah.
Muhammadiyah merupakan gerakan budaya yang sering disalapahami,
bahkan oleh aktivisnya sendiri. Seluruh kegiatan gerakan ini merupakan
[94] K.H. Ahmad Dahlan