Page 55 - Catatan Peradaban Islam
P. 55
sebagai kepala negara tersebut. Pendapat Khawarij ini,
dalam perkembangan berikutnya, terutama sesudah abad
XVI M dianut oleh Sunni.
Masalah pelik kedua yang dihadapi oleh kaum Muslim
masa awal itu adalah masalah siapa yang disebut mukmin
dan siapa yang disebut kafir. Al-Qur'an dan hadits Nabi
memang memberikan kriteria-kriteria tentang mukmin dan
kufur. Namun karena tidak adanya penjelasan yang pasti
tentang itu, menimbulkan berbagai pandangan yang berbeda
pula.
Persoalan mukmin dan kafir dimunculkan oleh kaum
Khawarij ke permukaan. Berawal dari terbunuhnya khalifah
ketiga, Usman bin Affan, yang kemudian memunculkan
protes keras terhadap kepemimpinan Ali bin Abi Thalib,
selaku Khalifah keempat, karena tidak mampu menemukan
siapa pembunuh Usman bin Affan. Malah lebih ekstrem lagi,
Ali bin Abi Thalib dituduh berkolaborasi dengan para
pemberontak yang mengguling-kan Usman bin Affan.
Persengketaan itu kemudian diselesaikan dengan jalan
tahkim antara Ali bin Abi Thalib dengan wakilnya Abu Musa
al-Asy'ari dengan Mu'awiyah bin Abi Sufyan dengan
wakilnya Amr bin 'Ash. Jalan tahkim yang dipergunakan
menyelesaikan persoalan tersebut ditolak oleh sebagian dari
pasukan Ali yang kemudian dikenal dengan nama Khawarij.
Menurut mereka tahkim itu adalah tradisi jahiliyah, bukan
penyelesaian dengan jalan berpedoman kapada apa yang
diturunkan oleh Allah, yakni al-Qur'an. Maka dengan
membawa ayat 44 surat al-Maidah, "Siapa yang tidak
menghukum dengan apa yang diturunkan oleh Allah, mereka
adalah orang kafir." Dengan dasar pandangan itu Khawarij
kemudian memutuskan bahwa Ali, Mu'awiyah, Amr dan Abu
48 | Asep Solikin dan M. Fatchurahman