Page 14 - Model Pembelajaran Kwu-Kop
P. 14
ditempuh dengan masuknya entrepreneurship dalam kurikulum
yaitu pada mata pelajaran kewirausahaan. Selain itu juga
penanaman sikap, kreatifitas dan inovasi sehingga para siswa
dibiasakan untuk berpikir dan berperilaku sebagai seorang
pengusaha. Lambing (Alma, 2005: 15) mengemukakan bahwa
kebanyakan responden yang menjadi entrepreneur berasal dari
pengalaman sehingga memiliki jiwa dan watak serta keterampilan
entrepreneurship. Menurut Lambing, untuk menjadi wirausaha yang
berhasil persyaratan utamnya adalah memiliki jiwa, watak dan
keterampilan entrepreneurship. Jiwa dan watak dipengaruhi oleh
keterampilan dan kemampuan atau kompetensi, sedangkan
kompetensi itu sendiri ditentukan oleh pengetahuan dan
pengalaman usaha.
Kalau kita telusuri selama ini, sebagian besar dari
pengusaha-pengusaha di Indonesia tumbuh dan berkembang jiwa
entrepreneurship secara turun temurun. Mereka berasal dari
keluarga yang membuka usahanya sendiri dan bukan bekerja pada
orang lain. Mereka tidak mendapatkan skill berwirausaha dari
jenjang pendidikan formal. Budaya kewirausahaan tumbuh dan
berkembang hanya pada keluarga atau kelompok-kelompok
masyarakat yang secara turun temurun berwirausaha saja.
Pendidikan formal pada umumnya lebih menghasilkan lulusan
sebagai pekerja yang mencari pekerjaan, bukan sebagai seorang
pengusaha dengan berkemampuan untuk mengembangkan potensi
dan pengetahuannya secara mandiri dalam mensejahterakan diri
sendiri dan masyarakat disekitarnya. Namun dalam
perkembangannya ternyata bahwa kewirausahaan bukan hanya
bakat bawaan sejak lahir, atau bersifat praktik lapangan saja.
Kewirausahaan merupakan suatu disiplin ilmu yang perlu dipelajari.
Kemampuan seseorang dalam berwirausaha dapat dimatangkan
melalui proses pendidikan. Seseorang yang menjadi wirausahawan
adalah mereka yang mengenal potensi dirinya dan belajar
mengembangkan potensinya untuk menangkap peluang serta
5