Page 118 - CERITAKU; Cerita Rakyat Kalimantan Tengah
P. 118
Kesempatan itu dimanfaatkan Nyai Balau menawan pengawal
Antang yang masih adu serang dengan Danum. Dia disuruh
menunjukan tempat disembunyikannya putranya.
Sampailah mereka di sebuah gubuk di hutan. Walaupun tidak
terlalu dalam masuk tengah, tetapi hutan itu banyak binatang yang
bisa mengancam keselamatan putranya yang masih kecil itu.
Terkejutlah Nyai Balau karena tidak ditemukannya Putranya di
gubuk itu, justru semakin teriris hatinya karena di sekitar gubuk
ditemukan bercak-bercak darah segar.
“Ma maafkan saya Nyai, saya yidak tahu kemana putra Nyai.
Tadi sewaktu kami mau menghadang Nyai, putra Nyai sudah
tidak ada. Tuan Antang belum sempat melukainya.” Pengawal
Antang menjelaskan dengan ketakutan.
Nyai Balau sangat sedih, kemana putranya, siapa yang
membawanya, kabur sendirikah? Terus darah itu. Bermacam tanda
tanya kerisauan berkecamuk di hatinya.
Nyai Balau beranjak keluar gubuk, meninggalkan pengawal
tersebut tanpa melukainya. Bagi Nyai Balau pantangan menyerang
seseorang yang sudah meminta maaf.
Tepat di tepi hutan, langkahnya terhenti. Ada suara memanggil,
“Nyai, Ibu”. Berdesir dada Nyai Balau mendengar panggilan tersebut
“Anakku” Nyai Balau menoleh kearah panggilan itu. Akan tetapi yang
tampak seorang pemuda tanggung, tampan, bermata sipit berkulit
bersih yang terlihat, bukan putranya.
Nyai Balau ingat dengan pemuda itu. Pelantun Karungut pada
saat pernikahannya dahulu. “Nyai, putra Nyai ada di rumah Datuk.
Mendengar ucapan Mantikei Nyai Balau senang sekali, “Ya
Tuhan Kau selamatkan dan melindungi putraku, terima kasih, ya
CERITAKU; Cerita Rakyat Kalimantan Tengah | 107