Page 89 - CERITAKU; Cerita Rakyat Kalimantan Tengah
P. 89
LEGENDA TANGAH SUEI BARITO TIMUR
Oleh: Nur Sofianingtyas
P
ada zaman dahulu dipedalaman hutan belantara ada satu
perkampungan atau tumpuk yang dikenal dengan sebutan
“Pupur Paramatung Banua Langai Langit, Patah Mulung
Sasuratan dan Lili Kumeah”. Mereka hidup secara berdampingan
yang digambarkan oleh masyarakat pedalaman saat itu dengan
berbagai istilah seperti: “Lagi Jatuh Mirra Putu Tukat, Riwu Lawe
Tampuk Wa,e Nawang, Lagi Jatuh Mirra Sinsian Tayup. Riwu Lawe
Sampulakan Unan, Lagi Jatuh Mirra Putut Ngaran, Riwu Lawe
Sampulakan Lunan, Lagi Tau Pengasini Pana Ine, Panga Giri Pana
Anak”, artinya satu tangga rumah, seratus orang berjejer pintu,
bergabung gantungan kelambu, bersebelahan bantal, sama awalan
nama, bergabung sarung parang, saling tertarik anak dan ibu, ibu dan
anak, dan belum ada aturan yang mengatur kehidupan manusia
(Jamak Salasar, rempang rapis, Pepet Sampikur Jangka Kalulung, atau
aturan adat). Dapat dibayangkan bagaimana kehidupan orang masa
itu, yang hidup dalam ketidakteraturan berbaur menjadi satu tanpa
membedakan satu sama lain.
Suatu ketika muncullah secara gaib seorang wanita dari bawah
tanah, yaitu “Ungkup Batu”, dan saat bersamaan muncul juga
seorang lelaki dari atas langit, yaitu “Sawalang Gantung”. Kemudian
mereka hidup bersama, sebagai suami-istri di kampung Lili Kumeah.
Seiring perjalanan waktu mereka dikaruniai anak yang berjumlah
“Tangah Suei” (8,5), disebut delapan setengah karena 8 orang lahir
78 | CERITAKU; Cerita Rakyat Kalimantan Tengah