Page 307 - Bibliosufistik Pada Jalan Tuhan Memancar Kedamaian
P. 307
BELAJAR DARI TAUBAT ABU NAWAS
Biarlah mesjid-mesjid itu dipenuhi oleh orang yang shalat
Ayolah kita minum khamer sepuasnya. Tuhan pun tak pernah
mengatakan “Neraka Wail bagi para pemabuk”, Tuhan
hanya berfirman “Neraka wail bagi orang yang shalat”.
Abu Nawas, atas wasiat orang tuanya yang menjadi
seorang penghulu, dipesan agar mencium telinga ayahnya
apabila saat kematiannya tiba. Jika membersit bau harum
yang menyenangkan, teruskanlah profesi orang tua sebagai
penghulu. Tapi jika keluar bau busuk yang membuat orang
muntah, maka jauhilah profesi itu untuk selama-lamanya.
Ketika sang ayah wafat, bau busuklah yang keluar dari
telinganya. Dengan itu Abu Nawas itupun enggan menjadi
penghulu, biarpun Khalifah Harun Al-Rasyid memintanya.
Dalam cerita lain juga disebutkan bahwa nama lengkap
Abu Nawas adalah Al-Hasan bin Hani Al-Hakami. Dia adalah
seorang sastrawan istana, kelahiran di Ahwas, Iran, tahun
130 Hijriah/747 Masehi. Ibunya seorang wanita miskin yang
bekerja sebagai tukang cuci kain wol yang terbuat dari bulu
domba. Sedangkan ayahnya adalah seorang serdadu Dinasti
Bani Umayyah pada masa pemerintahan Marwan bin
Muhammad, Khalifah pemungkas pada Dinasti ini.
Karena lahir di Ahwas, Abu Nawas merasa dirinya lebih
seorang Persia daripada seorang Arab. Padahal sebagian
besar hidupnya berada di beberapa kota yang kental dengan
kebudayaan Arab, Bashrah, Kufah dan Baghdad. Ia bahkan
pernah tinggal ditengah-tengah masyarakat Badui di tengah
lautan padang pasir dengan tujuan agar dia dapat merasakan
nilai-nilai sastra Arab yang asli. Kepenyairannya sudah
terlihat sejak usia dini berkat bimbingan seorang penyair
294 | Asep Solikin