Page 160 - K.H. Ahmad Dahlan (1868-1923)
P. 160
harus bekerja keras tanpa gaji, ia tetap mencurahkan tenaganya di poliklinik
itu. Akan tetapi tujuan baiknya dan waktu yang diluangkannya sangat
tergantung pada orang-orang Muhammadiyah sendiri, sehingga dia terpaksa
kembali dalam dinas pemerintah.
Kedua, dokter R. Slamet. Dia juga seorang bumi putera, yang
bersedia menggunakan keahliannya demi kepentingan bangsanya. Pada
masa dia bekerja di rumahsakit Muhammadiyah, dia tidak menerima
gaji. Dia harus hidup dari praktek yang dilakukannya di luar poliklinik.
Namun, ia tidak bisa bertahan karena ia diadukan setiap hari oleh orang-
orang Muhammadiyah, bahwa ia tidak melakukan sholat. Berhubung
isterinya tidak memakai kerudung, ia terus dicerca dan dikritik oleh
anggota wanita Muhammadiyah.
Selain itu,pernyataan dibuat tentang perhitungan yang diajukan
oleh dokter ini bagi kunjungannya kepada pasien di kalangan anggota
Muhammadiyah. Orang berkata bahwa taripnya terlalu tinggi, sementara
sebenarnya tiap kunjungan hanya diminta maksimal f 2,50. Tetapi ketika
perhitungan ini dibuat oleh seorang dokter Eropa, orang tidak berani
menentangnya.
Selain itu meskipun Muhammadiyah mempunyai seorang dokter,
toh mereka sering menggunakan dokter Eropa. Salah satu anggota pengurus
adalah agen dari seorang dokter Eropa, yang memberinya komisi. Ini menjadi
alasan mengapa dr. Slamet tidak lagi bisa bekerja di Muhammadiyah.
Setelah kepergian dr. Slamet, dr. Soekiman tiba dari Belanda.
Dengan janji-janji indah seperti sebuah mobil dinas, sebuah rumah
dengan perabotan, serta dengan kenyataan bahwa ayahnya adalah
anggota organisasi Muhammadiyah, dia akhirnya terbujuk. Tetapi apa
yang terjadi? Semua janji itu tidak dipenuhi; dia hampir tidak bekerja
di sana ketika ia mengalami sendiri hal-hal yang tidak menyenangkan
dirinya, seperti telah diuraikan oleh dr. Slamet
Karena alasan ini, dr. Soekiman segera pulang. Dia menjaga
jarak dengan orang-orang Muhammadiyah, karena dia merasa tidak
bisa menerima perlakuan itu. Untunglah poliklinik PKO terpisah dari
[158] K.H. Ahmad Dahlan