Page 19 - K.H. Ahmad Dahlan (1868-1923)
P. 19
Di samping sekolah tehnik, didirikan juga Pendidikan Tinggi
Kedokteran. Bahasa pengantarnya bahasa melayu. Pada tahun 1902
sekolah dokter jawa diubah menjadi STOVIA (School Tot Opleiding Voor
Indische Artsen) yang menerima lulusan ELS, dan berbahasa pengantar
Belanda. Lama belajarnya 7 tahun. Kemudian syarat penerimaannya
ditingkatkan menjadi lulusan MULO. Pada tahun 1913 disamping
STOVIA di Jakarta didirikan sekolah tinggi kedokteran (Geneeskundige
Hogeschool) yang lama belajaranya 6 tahun dan menerima lulusan AMS
dan HBS. (Robert van Niel, 1985: 21-101).
Jika diperhatikan, ada 2 (dua) ciri mendasar bagi sekolah-sekolah
yang didrikan Belanda. Pertama, sekolah-sekolah ini netral dari agama
(sekular). Tidak ada materi agama di dalamnya. (Robert van Niel, 1985:
15-19). Tujuan pendidikan ini murni pragmatis yaitu untuk mengisi pos-
pos pekerjaan untuk mendukung pemerintahan Belanda, terutama sektor
ekonomi. Kedua, diatur berdasarkan strata sosial. Ini berkaitan dengan
kepentingan politik Belanda. Salah satu tujua utama pendidikan adalah
untuk mencetak orang-orang tertentu yang nantinya akan mendukung
kekuasaan Belanda. (Setyiatiningsih, 1982: 9). Pada konteks ini,
Belanda memilih kelas aristokrat untuk dijadikan peyayi dalam rangka
mendukung kepentingan Belanda.
Kedua ciri berimplikasi serius pada ranah sosial. Absennya pendidikan
agama dari sekolah-sekolah mengakibatkan agama terdiskreditkan baik
secara politik maupun dalam pandangan masyarakat. Sekolah-sekolah
Islam yang berada di pesantren dianggap sebagai sekolah kelas dua yang
tidak terlalu penting. Pesantren adalah lembaga pendidikan non formal
yang konotasinya adalah pendidikan yang tidak terlalu penting. Hal
kemudian memicu antipati yang mendalam bagi kalangan agamawan
terhada Belanda Belanda adala penjaja kafir Semua ya data
da Belanda adala juga siste kafir Ha kemudia juga berdampa
pada kebencian terhadap “ilmu-ilmu umum” yang diajarkan di sekolah-
sekolah Belanda. Jika sekolah Belanda meminggirkan dan menganggap
K.H. Ahmad Dahlan [17]