Page 20 - K.H. Ahmad Dahlan (1868-1923)
P. 20
tidak penting materi-materi agama. Sebaliknya, pesantren meminggirkan dan
menganggap tidak penting materi-materi umum. Pada konteks ini, pesantren
sebenarnya juga telah melakukan “sekularisasi” dalam bentuk lain.
Termasuk dalam hal yang dibenci dan harus dijauhi adalah semua
sistem, sarana prasaran, bahkan semua aksesoris yang datang dari
Belanda Semua adala kafir Mencontek-conte semua ya data
da Belanda bera menyerupaka denga ora kafi da pada
giliranya juga menja kafir
Pada konteks ini umat Islam sebenarnya mengalami kerugian baik
secara politik maupun budaya. Secara politik umat Islam jelas menjadi
terdiskreditkan, terpojok, bahkan selalu dicurigai. Sikap konfrontatif
umat Islam mempersempit gerak terutama ketika akan memasuki ranah
formal. Di samping itu, pengajaran pendidikan Islam yang hanya terbatas
pada “ilmu-ilmu agama” juga mempersempit kompetensi keilmuan
umat Islam itu sendiri. Bagaimana pun, ilmu-ilmu itu sangat penting
terutama untuk memajukan kehidupan. Harus diakui juga bahwa sistem
pendidikan Belanda sudah relatif maju jika dibandingkan dengan sistem
pendidikan Islam.
Akibatnya umat Islam semakin tertinggal jauh di segala bidang.
Problematika ini tentunya tidak terbaca oleh umat Islam yang nota bene
saat itu telah terkungkung dalam situasi penjajahan. Mereka mengalami
mental block akibat kebencian dan sentimen yang begitu tinggi terhadap
kaum penjajah. Pada konteks inilah kehadiran seorang pembaharu sangat
dibutuhkan. Seorang pembaharu yang bisa melihat persoalan dengan
kacamata luar sehingga dapat memposisikan dirinya secara tepat diantara
penjajah yang eksploitatif dan pribumi yang sentimentil.
Selanjutnya, pembedaan strata sosial mengakibatkan penduduk
pribumi terbelah ke dalam dua kutub sosial yang saling berlawanan,
yaitu; kaum aristokrat/priyayi di satu sisi dan rakyat jelata di sisi yang
lain. Kaum priyayi umumnya dijadikan pegawai-pegawai Belanda.
Tentu saja mereka loyal dan membela kepentingan-kepentingan Belanda
[18] K.H. Ahmad Dahlan