Page 25 - K.H. Ahmad Dahlan (1868-1923)
P. 25

Pemikiran para pembaharu inilah yang kemudian menginspirasi Ahmad
              Dahlan untuk melakukan pembaharuan di Indonesia.

                 Di samping berdakwah menyebarkan ajaran Islam, Ahmad Dahlan juga
              menjalani profesi sebagai pedagang batik. Ia juga aktif di berbagai organisasi.
              Sifatnya yang supel, toleran dan luas pandangan membuatnya mudah diterima
              oleh berbagai pihak. Bahkan ia juga  bersahabat dan berdialog dengan Van
              Lith, seorang pastur dari Katolik.
                 Ahmad Dahlan melihat bahwa persoalan pendidikan sebagai akar utama
              yang menyebabkan bangsa Indonesia, terutama umat Islam tertinggal. Karena
              itulah ia mengambil jalur pendidikan sebagai sarana utama berdakwah.
              Namun demikian, untuk memperluas gerak langkah dakwah ini, adanya
              lembaga pendidikan kiranya terlalu sempit. Beberapa sahabat Ahmad Dahlan
              menyarankannya untuk mendirikan organisasi. Akhirnya ia mendirikan
              organisasi Muhammadiyah. Pada tanggal 20 Desember 1912 ia mengajukan
              permohonan kepada Pemerintah Hindia Belanda untuk mendapatkan badan
              hukum. Permohonan itu baru dikabulkan pada tahun 1914, dengan Surat
              Ketetapan Pemerintah No. 81 tanggal 22 Agustus 1914. Izin itu hanya
              berlaku untuk daerah Yogyakarta dan organisasi ini hanya boleh bergerak di
              daerah Yogyakarta.
                 Melihat sepak terjang Ahmad Dahlan, pemerintah Hindia Belanda
              timbul kekhawatiran akan perkembangan organisasi Muhamadiyah ini.
              Maka dari itu kegiatannya dibatasi. Walaupun Muhammadiyah dibatasi,
              tetapi di daerah lain seperti Srandakan, Wonosari, Imogiri dan lain-Iain telah
              berdiri cabang Muhammadiyah. Hal ini jelas bertentangan dengan keinginan
              pemerintah Hindia Belanda. Untuk mengatasinya, maka KH. Ahmad Dahlan
              menyiasatinya dengan menganjurkan agar cabang Muhammadiyah di luar
              Yogyakarta memakai nama lain. Misalnya Nurul Islam  di Pekalongan, Al-
              Munir di Ujung Pandang, Ahmadiyah di Garut. Sedangkan di Solo berdiri
              perkumpulan  Sidiq Amanah Tabligh Fathonah  (SATF) yang mendapat
              pimpinan dari cabang Muhammadiyah. Bahkan dalam kota Yogyakarta
              sendiri ia menganjurkan adanya jama’ah dan perkumpulan untuk mengadakan



                                                                    K.H. Ahmad Dahlan    [23]
   20   21   22   23   24   25   26   27   28   29   30