Page 24 - K.H. Ahmad Dahlan (1868-1923)
P. 24

C.  Sekilas tentang Ahmad Dahlan
                   KH. Ahmad Dahlan putra pribumi asli kelahiran Yogyakarta, 1868. Nama
                   kecilnya adalah Muhammad Darwis. Ia adalah putera keempat dari K.H.
                   Abu Bakar, seorang ulama dan khatib terkemuka di Masjid Besar Kasultanan
                   Yogyakarta  pada masa itu. Ia termasuk keturunan yang kedua belas dari
                   Maulana Malik Ibrahim, salah seorang yang terkemuka di antara Walisongo,
                   yaitu pelopor penyebaran agama Islam di Jawa. Silsilahnya  tersebut ialah
                   Maulana Malik Ibrahim, Maulana Ishaq, Maulana ‘Ainul Yaqin, Maulana
                   Muhammad Fadlullah (Sunan Prapen), Maulana Sulaiman Ki Ageng Gribig
                   (Djatinom), Demang Djurung Djuru Sapisan, Demang Djurung Djuru
                   Kapindo, Kyai Ilyas, Kyai Murtadla, KH. Muhammad Sulaiman, KH. Abu
                   Bakar, dan Muhammad Darwisy (Ahmad Dahlan). (Noer, 1995: 48).
                       Pada usia ke-15 tahun, ia pergi haji dan tinggal di Mekah selama lima
                   tahun. Pada periode inilah Muhammad Darwis muda mulai berinteraksi
                   dengan pemikiran-pemikiran pembaharu dalam Islam, seperti Muhammad
                   Abduh, Al-Afghani, Rasyid Ridha dan Ibnu Taimiyah. Setelah menunaikan
                   ibadah haji dan sebelum ia kembali ke kampung halaman ia diberi nama
                   Ahmad Dahlan. Selanjutnya pada tahun 1888 ia pulang kampung halaman.
                   Sepulang dari Mekkah, ia menikah dengan Siti Walidah, sepupunya
                   sendiri, anak Kyai Penghulu Haji Fadhil, yang kelak dikenal dengan Nyai
                   Ahmad Dahlan, seorang Pahlawanan Nasional dan pendiri Aisyiyah. Dari
                   perkawinannya dengan Siti Walidah, KH. Ahmad Dahlan mendapat enam
                   orang anak yaitu Djohanah, Siradj Dahlan, Siti Busyro, Irfan Dahlan, Siti
                   Aisyah, Siti Zaharah. (Kutojo, 1991).
                       Pada tahun 1903 ia berangkat kembali ke Mekah dan menetap di sana
                   selama 2 tahun. Pada keberangkatan kedua ini tampaknya ia sengaja ingin
                   memperdalam ilmu pengetahuan. Pada masa ini, ia sempat berguru kepada
                   Syeh Ahmad Khatib yang juga guru dari pendiri NU, KH. Hasyim Asyari.
                   Ia juga makin intens membaca berbagai literatur karya para pembaharu
                   Islam seperti Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, dan Jamaluddin al-Afghani.




               [22]    K.H. Ahmad Dahlan
   19   20   21   22   23   24   25   26   27   28   29