Page 106 - CERITAKU; Cerita Rakyat Kalimantan Tengah
P. 106
“Mohon maaf tuan Antang, saya yang mengundang pelantun
karungut datang kemari, dan sedari tadi belum saya persilakan
istirahat”. “Ada yang mau saya sampaikan pada adik ini”
“Andi, siapa namamu?” Apa masih kelompok pelantun karungut
tuan Djata?”
“Saya Mantikei, Tuan”. “Kalau tuan Djata, beliau paman saya”.
“Oo, di mana tuan Djata, kenapa bukan beliau yang datang
kemari?”
“Paman sedang sakit Tuan, beliau meminta saya menggantikan
hadir kesini”.
Mantikei, nama remaja pelantun karungut itu. Dia keponakan
dari Djata pelantun karungut ternama saat itu. Di wilayah kerajaan
Palangka, Tewah Kapuas jika ada upacara adat, ataupun hajatan
mengundang, menampilkan kesenian leluhur karungut. Begitu pula
keluarga Tumenggung Kenyapi.
Beberapa saat antara tuan Tumenggang Kenyapi bersama Nyai
Balau, bercakap dengan Mantikei. Terlihat Nyai Balau sangat senang,
terkadang tersenyum, tampak cantik dengan lesung pipitnya. Mereka
seperti menyukai Mantikei. Percakapan mereka tidak terasa hingga
sore.
Malam itu bulan purnama, Nyai Balau belum juga bisa tidur,
walupun mencoba berulang kali memejamkan matanya. Semenjak
menikah dengan Tumenggung Kenyapi dia tidak pernah
menghabiskan malam sendirian. Suaminya selalu ada di sampingnya.
Apalagi ketika dia diboyong ke keluarga suaminya. Akan tetapi,
malam ini dia tanpa suami ada di sisinya. Suaminya harus pergi ke
wilayah kerajaan Bataguh untuk belajar rumuan herbal. Ada seorang
ahli obat atau herbal ternama di sana. Nyai Balau bersedia ditinggal
bana terkasihnya, demi menimba ilmu. Nyai Balau yakin kepergian
CERITAKU; Cerita Rakyat Kalimantan Tengah | 95