Page 98 - CERITAKU; Cerita Rakyat Kalimantan Tengah
P. 98
“Jangankan kami yang masih anak-anak, bukankah para tetua
sekampung sudah tidak berhasil membukanya?” Kembali para tetua
meyakinkan tidak ada salahnya mereka mencoba, karena semua
orang harus mencoba dan akhirnya mereka setuju.
Konon cerita keempat anak itu teringat bunyi santaru atau
lantunan syair yang juga mereka dengar, yaitu: “esi uli ina wasi sintak
uyat bagugamat, hie tau ngugah tukal banang rawai wali yeru jari
samperai hukum janng dadai adat”. Sambil bersantaruh/bersyair
mereka mencoba meraih Bongkahan Benang itu, mencari-cari
ujungnya dan berhasil terbuka buka. Karena sangat panjangnya
benang, sehingga menutupi seluruh tumpuk/kampung Lili Kumeah.
Sesuai bunyi pesan syair dan hanya mereka berempat yang mampu
membuka bongkahan benang, maka mereka menunjuk keempat
orang anak itu untuk mengatur kehidupan di kampung/tumpuk Lili
Kumeah. Mengingat mereka masih anak-anak, merekapun
mengalami kebingungan untuk mengatur kehidupan orang tua
mereka. Lalu mereka diminta menemui Nini Punyut (Etuh
Bariungan) yang tinggal di Burit Lewuan Lusun Huli Hulai Minang
Menuh (Teluk Nansarunai) yang tinggal disebuah pohon besar
(Nunuk Waringin) untuk menyampaikan kejadian itu dan
menanyakan bagaimana cara mengatur kehidupan masyarakat
kampung/tumpuk Lili Kumeah.
Berangkatlah keempat anak itu menemui Nini Punyut. Setelah
melakukan perjalanan panjang yang berlika-liku menembus gunung,
hutan belantara, tanah berlumpur, yang tergambar dalam kalimat
seperti: “kia alah kuru, kia tane kuru tane, mitah balai padang waruga
siai lalung, mitah balai lasi wruga wekun, mitah balai hepung waruga
kayun kulun, mitah balai janah waruga karanganyan, mitah balai lu’au
waruga tane lumpur, katuan wadik watang kayunmaras nihang kalan”,
CERITAKU; Cerita Rakyat Kalimantan Tengah | 87