Page 138 - K.H. Ahmad Dahlan (1868-1923)
P. 138

lokal. Menurut keterangan pengurus pusat Muhammadiyah saat itu,
                       Muhammadiya  mencoba    melakuka  pembayara  fitra  kepada
                       orang-orang yang langsung menerimanya, bukan melalui guru agama atau
                       guru seperti yang biasa terjadi di tanah air. Pada 1932 dari Residen Kudus
                       dilaporkan (sebuah daerah dengan kehidupan agama yang maju) bahwa
                       pengurus cabang Muhammadiyah pada bulan Ramadhan menerima
                       zakat dari anggota yang menjelang akhir bulan itu dibagikan di antara
                       kaum miskin. Pada tahun itu hasil zakat mencapai f 2.500. Pengurus juga
                       menerima beras dari anggota yang dibagikan sebagai fitrah kepada fakir
                       miskin. Pada 1937 cabang Telukbetung di Sumatra  yang dikenal dengan
                       sarana arisan padi yang mereka miliki, menerima zakat dan fitrah. Ada
                       tiga orang ditunjuk untuk mengatur pemungutan ini. Ada panti asuhan
                       yatim yang didirikan oleh Muhammadiyah di Yogyakarta pada 1931,
                       dan di Bandung pada 1936. Di gedung panti asuhan Yogyakarta, di
                       kampung Tungkak, dalam huruf Arab dikutip semboyan dari Qur’an:
                       ”Perhatikan: mereka yang terkena putusan akhir adalah mereka yang
                                         27
                       menolak anak yatim”.  Telah disebutkan dalam bagian terdahulu bahwa
                       Muhammadiyah juga mempunyai cabang wanita yang disebut Aisiyah.
                       Sifat maju dari Muhammadiyah terbukti dalam andil  yang diberikan
                       kepada kaum wanita dalam karya organisasi ini. Propaganda  demi nama
                       agama yang disebut tablig  bukan hanya diserahkan kepada para juru
                       propaganda pria, tetapi juga juru propaganda perempuan yang disebut
                       mubalighah. Pendidikan dan karya sosial juga dilayani oleh kaum wanita
                       dan kaum pria. Para wanita Aisiyah mendirikan masjid yang hanya
                       diperuntukkan bagi kaum wanita yang memberikan perkembangan baru
                       bagi Islam Indonesia yang tidak ditemukan di tempat lain.

                            Pertanyaan kini muncul bagaimana kebangkitan keagamaan
                       yang sangat menarik ini berasal dari Muhammadiyah, dan pertanyaan
                       kedua siapa yang mengambil inisiatif untuk mendirikan organisasi
                       untuk zending internal ini? Pertanyaan kedua lebih mudah dijawab


                   27   Ibid, t.t., hlm. 105.


               [136]    K.H. Ahmad Dahlan
   133   134   135   136   137   138   139   140   141   142   143