Page 141 - K.H. Ahmad Dahlan (1868-1923)
P. 141
sehingga dijadikan sebagai semboyan Muhammadiyah. Perbedaan
teologi juga dibicarakan namun banyak berkaitan dengan praktek
kehidupan beragama. Kekuatan Muhammadiyah menunjukkan bahwa
mereka bisa menjalankan tugasnya dengan penuh ketenangan tanpa
banyak menemui benturan dengan kelompok Islam yang berpikiran
lain. Lawan-lawan Muhammadiyah kadang-kadang menolak dengan
cara tegas, seperti pada 1926 di Kudus ayah dari seorang putrinya yang
dilamar meminta calon menantunya untuk mencantumkan ta’qliq atau
talak (pembubaran perkawinan atas dasar syarat tertentu) saat akan
mengesahkan perkawinan. Perkawinannya akan dibatalkan dengan
talaq apabila dia menjadi anggota Muhammadiyah. Pada tahun yang
sama ini terjadi di masjid Babat (Jawa Timur) sehingga setelah ibadah
suatu perkelahian terjadi antara para pengikut Muhammadiyah dan para
pengikut aliran ortodoks, yang sejak itu kemudian berkumpul dalam
organisasi Nahdatul Ulama. Para tokoh Nahdatul Ulama menolak
dominasi Wahabi di tanah suci, yang desas-desusnya beredar pada saat
itu. Sementara Muhammadiyah memuji ajaran Wahabi. Perdebatan ini
berakhir dengan perkelahian. Namun, perselisihan seperti terjadi di masjid
Babat merupakan perkecualian, karena persaingan antara kaum Muda
dan kaum Tua lebih bersifat damai. Bila Muhammadiyah di luar Jawa
memasuki lahan aliran tua, di sana mereka sering menjumpai perlawanan
dari para pejabat dan penduduk bumi putera, yang sering menganggap
metode barunya sebagai bid’ah. Tetapi lama-kelamaan mereka juga
diterima sebagai salah satu arah yang baik dalam bidang keagamaan.
Orang harus memperhatikan bahwa perkembangan Muhammadiyah dari
sudut pandang sosial merupakan perkembangan dari klas menengah kecil,
bukan dari ulama dan bangsawan. Yang sangat berguna bagi penyebaran
ide-ide keagamaan di antara rakyat biasa terbukti adalah tabligh yang
digencarkan oleh Muhammadiyah dan diterima di mana-mana sebagai
suatu contoh yang baik dalam Islam.
K.H. Ahmad Dahlan [139]