Page 146 - K.H. Ahmad Dahlan (1868-1923)
P. 146

ketika polisi bertindak memusuhi Muhammadiyah, yang terbukti dengan
                       mempersulit diadakannya tabligh.  Ia menyindir sikap polisi di Solo, yang
                       tidak memahami Islam tetapi berani menilai dan mengadili pelajaran
                       agama oleh mubalig Muhammadiyah. Peristiwanya terjadi di Salatiga
                       dalam sebuah perarakan, bendera Muhammadiyah tidak disertakan.
                       Dalam tabligh,  hanya seorang yang bisa bicara. Di Kendal seorang
                       guru desa diancam dengan pemindahan oleh penilik sekolah apabila
                       dia menjadi anggota Muhammadiyah. Di Purbalingga, ketua cabang
                       diancam akan dibunuh oleh seorang pengikut “kaum kuno”.Di Jerabiu
                       (Amuntai) Muhammadiyah dianggap sebagai organisasi Wahabi dan
                       oleh karenanya tidak boleh mendirikan sekolah. Di Sigli Muhammadiyah
                       disamakan dengan PKI. Di Pantai Barat Sumatra kelompok  adat pada
                       umumnya berbicara sangat keras melawan organisasi ini.
                          Haji Hadjid, anggota pengurus pusat yang ahli di bidang Islam,
                       menyampaikan sebuah pidato panjang tentang sejarah Islam, seperti
                       apa yang telah dia sampaikan di Pekalongan. Yang penting adalah, dia
                       ulangi, bagaimana Islam menjadi tidak berdaya ketika Ibn. Taimiyah dan
                       siswanya Abdul Wahab sebagai mujahid (secara harafiah: pembaharu,

                       tetapi dianggap sebagai pemurni) tampil. Tradisi ini diteruskan oleh
                       Jamaludin al Afgani dan Muhamad Abduh dan Rasyid Rida. Di sini
                       secara terbuka Ibn Taimiyah dan Abdul Wahab, peletak dasar aliran
                       Wahabi, diakui sebagai perintis.

                          Selanjutnya  Mas    Sastrosoewito,  ketua  cabang   tabligh
                       Muhammadiyah di Yogyakarta naik ke mimbar. Inti dari pidatonya
                       adalah menunjukkan bahwa Muhammadiyah hanya ingin melaksanakan
                       karya zending, memberikan kebaikan kepada penduduk dan mengubah
                       cara pandang mereka. Kemudian kemunculan peraturan guru merupakan
                       akibat dari kerusuhan yang dicetuskan oleh Kyai Darmojoyo di
                       Gedangan (Surabaya) yang mengakibatkan munculnya peraturan bagi
                       guru pada 1905, yang sangat mempersulit penyebaran Islam. Sebagai
                       akibatnya, terjadi  kemunduran agama. Peraturan guru yang baru tahun




               [144]    K.H. Ahmad Dahlan
   141   142   143   144   145   146   147   148   149   150   151