Page 153 - K.H. Ahmad Dahlan (1868-1923)
P. 153

dalam gerakan politik. Pendapat itu hanyalah merupakan sanggahan
                 saja, karena banyak anggota Muhammadiyah yang bukan anggota partai
                 politik. Para tokoh terkejut ketika seorang anggota Muhammadiyah
                 bergerak di bidang politik atau menjadi anggota suatu organisasi politik
                 seperti Budi Utomo, PNI, Pasundan (kecuali PSI karena organisasi ini
                 tidak mau menerima anggota Muhammadiyah). Di Yogyakarta ribuan
                 orang menjadi anggota Muhammadiyah, tetapi mereka tidak pernah
                 mendengar istilah  “politik”, atau mereka mengambil sikap yang
                 sangat berlawanan. Mereka setidaknya tidak terpengaruh sedikitpun.
                 Oleh karena itu,  dikatakan dengan pasti bahwa Muhammadiyah dan
                 anggotanya sangat antipolitik atau setidaknya menghambat pergerakan
                 politik, yang berjuang bagi kemerdekaan Indonesia.
                     Siapa yang masuk Muhammadiyah pasti akan menyesal  apabila
                 dia tidak anti-politik atau tidak menjaga jarak dari dunia politik.
                 Hal ini sudah jelas dan di mana-mana terbukti di semua tempat dan
                 daerah, bahwa tujuan didirikannya Muhammadiyah adalah  organisasi
                 non-politik. Atas dasar hal itu, kebebasan diberikan bagi perluasan
                 Muhammadiyah. Hal ini berarti bawa telah terjadi penyusutan semangat
                 nasionalis atau melemahnya jiwa nasionalis orang Indonesia, yang kini
                 sibuk dibangkitkan dan diarahkan untuk kemerdekaan Indonesia.
                     Untuk menjawab pertanyaan  yang muncul   apa alasan bahwa
                 Muhammadiyah takut terhadap politik,  menurut versi pengurus pusatnya
                 dijelaskan sebagai berikut: keberadaan Muhammadiyah tergantung pada
                 subsidi, dan dengan demikian apabila mereka tidak menerima subsidi,
                 segera akan kehabisan energi. Dalam suatu pergerakan yang terikat
                 dengan uang, yang tidak berasal dari “keringat nasionalis” (terutama
                 ketika donaturnya memiliki kekuasaan atas negara dan bangsa) tidak
                 mungkin bila semua kegiatannya tidak mengikuti selera dari pemberi
                 bantuan itu, dan Muhammadiyah akan tetap patuh akan prinsip tersebut.
                 Bukankah ini bisa disebutkan sebagai pengikut PEB, yang merupakan
                 unsur kapitalis.




                                                                   K.H. Ahmad Dahlan    [151]
   148   149   150   151   152   153   154   155   156   157   158