Page 67 - K.H. Ahmad Dahlan (1868-1923)
P. 67

Hadiningrat yang secara khusus membidangi persoalan keagamaan (Islam)
              dalam lembaga Kepenghuluan (Jw: Kapengulon). Lembaga yang hingga saat
              ini tetap  bertahan itulah yang pada saat kemerdekaan menjadi cikal-bakal
              kelahiran Departemen Agama. Jabatan di lembaga kepenghuluan tersebut
              diterima Kiai Ahmad Dahlan secara turun-temurun dari kakek dan buyutnya
              yang hingga saat ini dipegang anak-keturunan Kiai Ahmad Dahlan yang
              seluruhnya merupakan pengurus teras Muhammadiyah.
                 Hubungan harmonis Kiai Ahmad Dahlan dengan pusat kekuasaan
              dari Kerajaan Yogyakarta cukup unik dan menarik dikaji, terutama ketika
              kerajaan Jawa itu dipandang  masyarakat sebagai pusat tradisi Kejawen yang
              penuh mistik. Konflik keras justru lahir antara komunitas Kauman dan elite
              ulama senior dengan Kiai Ahmad Dahlan, sehingga bangunan musolla yang
              didirikannya pernah dirobohkan dan Kiai Dahlan pernah diusir dari kampung
              itu. Sementara Kiai Dahlan tidak pernah berhenti melancarkan kritik atas
              praktik takhayul, gugon-tuhon (jimat dan kesaktian mistik) dan perdukunan,
              tak sekali pun ada berita tentang konflik antara Kiai Dahlan dan penguasa
              Kraton. Hanya dalam perkembangannya, hubungan Muhammadiyah dan
              Kerajaan Yogyakarta tampak kurang berlangsung harmonis seperti selama
              masa kepemimpinan Kiai Ahmad Dahlan.
                 Kecenderungan demikian boleh jadi berkaitan dengan penempatan
              tradisi kraton sebagai pusat mistik Kejawen, terutama selama masa Perang
              Kemerdekaan tidak lama sesudah Perang Diponegoro. Gejala disharmoni
              tersebut menjadi semakin mengeras saat pemerintah kolonial menguasai
              kerajaan dan gerakan Islam menjadi pusat komando bagi perlawanan terhadap
              kolonialisme. Dalam suasana demikian Pujangga Kerajaan (Yogyakarta dan
              Surakarta) terus menulis berbagai karya yang tidak bisa diberi arti lain kecuali
              tafsir ajaran Islam dalam struktur kesadaran budaya Jawa. Sekurangnya
              terdapat dua kitab yang menjelaskan tafsir Jawa atas ajaran Islam, yaitu:
              Serat Warno-Warni dan Serat Kalatida yang terkenal dan sarat ajaran etika-
              moral Sufi itu. Seorang pangeran di masa lalu harus menjalani suatu fase
              pendidikan yaitu belajar di Pondok Pesantren terkemuka.




                                                                    K.H. Ahmad Dahlan    [65]
   62   63   64   65   66   67   68   69   70   71   72