Page 68 - K.H. Ahmad Dahlan (1868-1923)
P. 68
Perubahan hubungan Islam (versi Muhammadiyah) dan tradisi Jawa yang
berpusat di Kraton seperti di atas berkaitan dengan semakin menguatnya
ortodoks fi lega syaria dala perjalana Muhammadiya
sesudah pendirinya wafat pada 1923. Farid Ma’ruf (Mentri Agama sesudah
Fakih Usman, pengurus teras Muhammadiyah) menyebut kehidupan Kiai
Ahma Dahla mencerminka kehidupa seora Sufi mode Ghozalia
Penguata ajara fi buka saja menempatka berbaga be ajara
Sufi sebaga sasara ta juga penempata geraka Isla sebaga
kekuatan yang berhadap-hadapan dengan kekuasaan, baik Kerajaan atau
Penguasa Kolonial. Kritik keras Muhammadiyah atas praktik TBC (akronim:
takhyul, bid’ah dan churofat) baru mulai meluas sesudah tahun 1930-an
yang menempatkan tradisi Kraton sebagai simbol dan pusat TBC tersebut.
Uniknya, penanggungjawab pemberantasan TBC adalah Ketua Majelis
Tarjih yang dijabat Kiai Wardan Dipaningrat (putra Kiai Ahmad Dahlan)
yang juga Penghulu Kraton yang bertanggungjawab atas berbagai ritual
upacara kerajaan.
Kelahiran Muhammadiyah sendiri sebenarnya banyak berkaitan dengan
kebijakan Kerajaan Yogyakarta, terutama dari Hamengku Buwono VII &
VIII. Kepergian Kiai Ahmad Dahlan ke Mekah untuk naik haji pertama
kali dan bermukim di Mekah adalah merupakan perintah langsung dari Sri
Sultan Hamengko Buwono VII. Tujuan utamanya ialah agar Raden Ngabei
Ngabdul Darwis (nama kecil Kiai Ahmad Dahlan) bisa belajar tentang ajaran
Islam secara lebih baik. Sepulang haji, Sri Sultan Hamengku Buwono VIII
memerintahkan Kiai Ahmad Dahlan diam-diam bergabung dalam Boedi
32
Oetomo.
Dukungan pihak kraton juga dilihat dari kenyataan pengelola Masjid
Besar Kauman Yogyakarta sebagai bagian tak terpisah dari situs Kerajaan
hingga saat ini dipercayakan pada anak-cucu Kiai Ahmad Dahlan yang
merupakan pengurus teras Muhammadiyah. Sejak Muhammadiyah berdiri,
32 ). Lihat penjelasan GBPH Joyokusumo, adik Sri Sultan Hamengku Buwono
X, dalam Sidang Tanwir Aisyiyah di Yogyakarta bulan Juli 2002).
[66] K.H. Ahmad Dahlan