Page 71 - K.H. Ahmad Dahlan (1868-1923)
P. 71
dengan bahasa Indonesia (Melayu) dan Jawa, salat Hari Raya diselenggarakan
di tempat terbuka, pendirian tempat ibadah bagi kaum perempuan yang
disebut musolla, pengelolaan dengan managemen modern praktik zakat maal,
zakat fitrah, dan ibadah kurban bagi aksi pemberdayaan kaum fakir miskin
(mustadl’afin, proletar dan marginal). Jalan pikiran demikian dan berbagai
aksi pemberdayaan kaum tertindas ketika itu sulit dicari padanannya dalam
pemikiran kaum Salafi yang selama ini menjadi referensi tunggal kebenaran
pemahaman tentang ajaran Islam.
Muncullah slogan yang terkenal dalam tradisi Muhammadiyah tentang
“sedikit bicara banyak kerja” atau “legan golek momongan” (bujangan
mencari anak asuh) yang kemudian menjadi etos aktivis gerakan ini
di kemudian hari. Slogan dan etos tersebut mengindikasikan sebuah
praksis keberagamaan yang mendasari hampir semua kerja sosial-budaya
yang dikembangkan Kiai Ahmad Dahlan. Hingga kini bentuk kegiatan
Muhammadiyah lebih merupakan perluasan dari apa yang telah dimulai Kiai
Ahmad Dahlan sampai ia wafat pada Februari 1923. Namun tidak mudah
menyatakan berbagai praktik gerakan pembaruan Kiai tersebut dilakukan
berdasar semangat Protestanisme. Kiai Ahmad Dahlan sendiri tidak pernah
membaca karya Max Weber, apalagi sejarah pembaharuan Martin Luther.
Kritik ketertutupan ijtihad dari Jamaludin Al-Afghani (selanjutnya
Afghani) dan tokoh pembaharu Islam lainnya telah membuka wawasan
baru dunia Islam dan memberi inspirasi gerakan Islam di berbagai belahan
dunia, seperti kelahiran Muhammadiyah di Tanah Air. Sementara gagasan
Pan-Islamisme yang melahirkan gerakan pembebasan di negeri-negeri
muslim dari kolonialisme, melahirkan sikap anti Barat dan segala produk
pemikiran modern non-Islam. Lebih jauh, ajaran Islam yang disusun para
ulama (Salaf) pada abad-abad pertama pasca kematian Nabi Muhammad
saw kemudian berkembang sebagai ideologi bahkan mengalami peng-kudus-
an. Kecenderungan ideologisasi dan peng-kudus-an atas ajaran Islam dari
tafsir ulama Salaf itu lebih menjelaskan berbagai kesulitan pengembangan
gagasan duniawi yang antara lain direkomendasi oleh etos Protestanisme
K.H. Ahmad Dahlan [69]