Page 79 - K.H. Ahmad Dahlan (1868-1923)
P. 79
Etika Welas-Asih. Seperti komentar Dr. Soetomo yang disampaikan
dalam pidato pengantar pembukaan Rumah Sakit (Poliklinik) di Surabaya
pada 1924, kerja sosial yang di kalangan warga Muhammadiyah dikenal
sebagai amal-usaha didasari etos ke-welas-asih-an atau cinta-kasih. Dalam
tulisan yang paling kuat dirujukkan kepada ide Kiai Ahmad Dahlan, kosa-
kata itu disebut. Dr. Soetomo sebagai (Etika) Welas-Asih yang sekaligus
merupakan kritik prinsip Darwinisme yang oleh banyak pihak disebut
sebagai paradigma utama pemikiran Barat modern.
Etika Welas-Asih berhubungan dengan sifat Rahman-Rahim Tuhan
bertumpu pada prinsip hidup bersama saling menolong, bukan model Darwinis
yang meletakkan seleksi alam atas kekuatan individual. Dari Darwinisme
kaum lemah dan tertindas, mereka yang miskin dan tak berpendidikan tidak
memperoleh ruang untuk maju dan berkembang menikmati hidup di dunia
akibat mereka yang kuat tidak pernah memberi kesempatan mereka yang
miskin untuk berkarya dan mengembangkan diri.
E. Etika Sukarela Muhammadiyah Untuk Bangsa 34
Dalam usia memasuki abad kedua, Muhammadiyah terbilang sukses
mengembangkan ratusan rumah sakit dan perguruan tinggi, serta ribuan
sekolah. Sumber pembiayaan boleh disebut murni swasta dan mandiri.
Aset yang dikelola amal usaha Muhammadiyah (AUM) berupa rumah
sakit, peguruan tinggi, dan sekolah di seluruh Nusantara bisa mencapai
puluhan trilyun. Pengelolaan AUM secara profesional, namun tanpa sistem
penggajian, kecuali pengganti jasa layanan sosial, yang bisa disebut amat
rendah jika dibanding lembaga modern serupa, ternyata tidak mendorong
perilaku korupsi di lingkungan AUM tersebut.
Etika suka-rela dan kegotong-royongan itulah yang merupakan nilai
34). Abdul Munir Mulkhan, Etika Sukarela Muhammadiyah untuk Bangsa (Jakarta, Harian Kompas,
4 Agustus 2015), hlm 6. Penulis adalah Komisioner Komnas HAM-RI 2007-2012, Wakil
Sekjen Pimpinan Pusat Muhammadiyah 2000-2005, Guru Besar Ketua Senat UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta.
K.H. Ahmad Dahlan [77]