Page 85 - K.H. Ahmad Dahlan (1868-1923)
P. 85
mencari ilmu, melakukan berbagai aksi sosial dan gerakan sipil, bagi
pemberdayaan umat. Muhammadiyah sebagai gerakan sosial ialah gerakan
agama dengan aksi sipil pertama dan terbesar di dunia (Islam).
F1. Posisi ’Aisyiyah
’Aisyiyah (organisasi Muhammadiyah perempuan) secara resmi didirikan 5
Januari 1922 (secara embrional sudah ada sejak 1917). Sebagai perkumpulan,
nama itu sudah cukup lama dipakai bagi sebutan perkumpulan perempuan
yang waktu itu kurang terorganisasi dengan baik. Kelompok yang bernama
Ngaisyiyah (dialek Jogja dalam pengucapan ’Aisyiyah) itu menggerakkan
kaum perempuan untuk melakukan aksi non-domestik.
Kartini belum muncul sebagai tokoh perempuan Nusantara, Poulo
Freire belum lulus TK, saat feminisme masih diperdebatkan di Eropa, Kiai
Dahlan menghasung perempuan berkarya di ranah publik. Nyai Dahlan
(Siti Walidah) pada posisi setara Kiai Dahlan, diundang ke luar kota, bukan
bersama atau atas nama Kiai, tapi atas namanya sendiri. Dalam sidang ulama
di Solo, mengambil tempat di Serambi Masjid Besar Kraton, Nyai Dahlan
diundang dan datang sendiri.
Saat warga pinggiran Negari Ngayogyokarto dan sekitarnya bermigrasi
mencari pekerjaan ke kota Jogja, Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah
mengumpulkan mereka untuk diberi bekal ilmu keagamaan dan ketrampilan
kerja. Kota Jogja menjadi magnit daerah sekitar, karena relatif lebih aman
dan menjanjikan kehidupan yang lebih sejahtera. Dari sini muncul pengajian
Wal-Ashri dan Kuliatul Muballighin, yang tumbuh menjadi Sekolah Tinggi
Ilmu Dakwah Muhammadiyah, seterusnya merupakan cikal bakal lahirnya
UMY (Universitas Muhammadiyah Yogyakarta).
Sayang, kemudian berkembang model pembagian kerja berbasis seksual;
ada ‘Aisyiyah (untuk perempuan dewasa) dan NA (Nasyiatul ‘Aisyiyah; untuk
pemudi), ada Pemuda Muhammadiyah (pemuda pria) dan Muhammadiyah
(pria dewasa). Tahun 80-an muncul kritik Kuntowijoyo tentang gejala
demikian, selain kritik Muhammadiyah sebagai gerakan kebudayaan tanpa
kebudayaan.
K.H. Ahmad Dahlan [83]