Page 88 - K.H. Ahmad Dahlan (1868-1923)
P. 88
menikmati ke-”darah-biru”-an kemodernan tajdid, lupa melakukan tajdid
dan ijtihad. Mereka cenderung puas dengan apa yang selama ini dicapkan
padanya, tapi merasa tersaingi saat ”pengikut” kemodernannya lebih piawai
melakukan aksi-aksi kritis dan ijtihadi, selain memiliki legalitas kemodernan
berikut gelar akademiknya.
Dulu, basis pengetahuan (terutama kitab kuning) nyai-nyai
Muhammadiyah atau ‘Aisyiyah dan nyai-nyai pesantren (NU belum lahir)
relatif setara. Hingga 1980-an ‘Aisyiyah berada pada posisi di atas angin
dibanding nyai-nyai pesantren. Kini, banyak lulusan luar negeri kalangan
dari pesantren, berkemampuan bahasa Arab dan Inggris, disertai pencarian
identitas sosial agresif, walau kadang sekedar proyek. Sementara ‘Aisyiyah
terlalu jaga imej (Jaim), mriyayeni, terlalu nyufi (keren-nya), penuh aturan
dan protokoler.
Banyak doktor dan professor perempuan dari pesantren membuat
‘Aisyiyah tersaingi. Sikap yang tidak perlu, karena munculnya perempuan
pesantren itu adalah bukti lain keberhasilan Muhammadiyah menyebarkan
ide pembaruan. Soalnya ialah, apa yang baru dan menarik publik dari yang
kini dilakukan dan dikembangkan ’Aisyiyah? Apa semua fakta sosial tersebut
disadari secara jernih, atau dilihat sebagai ancaman? Bagaimana gerakan ini
mengembangkan strategi baru sehingga memenuhi hajat publik seperti saat
awal kelahirannya? Jawaban atas persoalan tersebut merupakan agenda abad
ke-2 gerakan ini, jika mau tetap menyandang sebagai pembaru.
[86] K.H. Ahmad Dahlan