Page 86 - K.H. Ahmad Dahlan (1868-1923)
P. 86
Tahun 2003, gagasan reposisi ‘Aisiyiyah disahkan Tanwir Mataram 2004.
Sayang gagasan ini ditolak Muktamar Malang. Argumen yang menguasai
Muktamirin (peserta Muktamar ketika itu) ialah agar ‘Aisyiyah tidak usah
repot ngurusi wilayah publik, ngurusi saja soal domestik kerumahtanggan.
Argumen ini bertentangan dengan fakta tentang banyaknya perempuan aktif
di sektor publik, menjadi kepala sekolah, bupati, gubernur, rektor, menteri
dan pejabat tinggi lain. Soalnya ialah bagaimana Muhammadiyah dan
‘Aisyiyah menyikapi pemikiran dan fakta sosial tersebut?
F2. Tantangan Baru
Dalam usia 1 abad, tradisi keberislaman Indonesia berawal dari
Muhammadiyah; pendirian Musolla di tempat umum, majlis taklim dan
perjalanana ha fila pembagia da korba sekola mode
kajian sains modern di perguruan tinggi serta pengajaran Islam di sekolah.
Kepeloporan Muhammadiyah membuat publik umat terpenuhi kebutuhan
hidup bidang: kesehatan, pendidikan, praktik keagamaan, hingga pemenuhan
harga diri menghadapi orang-orang kolonial yang berkemajuan. Di saat
yang sama, umat merasa memperoleh perlindungan, memenuhi kebutuhan
mobilitas sosial dan religi serta rasa aman
Namun kini terasa jarak budaya persyarikatan dan umat semakin lebar.
Fungsi sipil gerakan telah banyak diambil LSM, lembaga profesional
(pengacara), lembaga adat, partai. Fungsi religi mungkin mulai diambil
ke salafi tarbiya Isla terpa Sementara fungs sekule
(pendidikan, kesehatan) mulai diambil kelompok-kelompok tradisional seperti
pesantren ketika lembaga ini juga mulai membuka diri mengembangkan
peran-peran sosial dan sipil.
Saat bersentuhan dalam masyarakat luas dengan status sosial beragam
warga gerakan ini mulai berpirau. Banyak warga bangsa dengan beragam
latar belakang sosial keagamaan masuk ke sekolah Muhammadiyah dari SD
hingga perguruan tinggi yang tumbuh pesat setelah kemerdekaan. Dari rumah
sakit, masuklah dokter-dokter muda dengan latar belakang sosial-keagamaan
[84] K.H. Ahmad Dahlan