Page 245 - Catatan Peradaban Islam
P. 245
pindah ke stasion tawakkal. Ia menyerahkan diri sebulat-
bulatnya kepada kehendak Tuhan. Ia tidak memikirkan hari
esok; baginya cukup apa yang ada untuk hari ini. Bahkan,
sungguhpun tak ada padanya, ia selamanya merasa
tenteram. Kendatipun ada padanya, ia tidak mau makan,
karena ada orang yang lebih berhajat pada makanan dari
padanya. Ia bersikap seperti telah mati.
Dari stasion tawakkal, ia meningkat ke stasion ridla.
Dari stasion ini ia tidak menentang percobaan dari Tuhan
bahkan ia menerima dengan senang hati. Ia tidak minta
masuk surga dan dijauhkan dari neraka. Di dalam hatinya
tidak ada perasaan benci, yang ada hanyalah perasaan
senang. Ketika malapetaka turun, hatinya merasa senang
dan di dalamnya bergelora rasa cinta kepada Tuhan. Di sini
ia telah dekat sekali dengan Tuhan dan iapun sampai ke
ambang pintu melihat Tuhan dengan hati nurani untuk
selanjutnya bersatu dengan Tuhan. Karena stasion-stasion
tersebut di atas baru merupakan tempat penyucian diri bagi
orang yang memasuki jalan tasawuf, ia sebenarnya belumlah
menjadi sufi, tapi baru menjadi zahid atau calon sufi. Ia
menjadi sufi setelah sampai ke stasion berikutnya dan
memperoleh pengalaman-pengalaman tasawuf.
D. Pengalaman Sufi
Di masa awal perjalanannya, calon sufi dalam
hubungannya dengan Tuhan dipengaruhi rasa takut atas
dosa-dosa yang dilakukannya. Rasa takut itu kemudian
berubah menjadi rasa waswas apakah tobatnya diterima
Tuhan sehingga ia dapat meneruskan perjalanannya
mendekati Tuhan. Lambat laun ia rasakan bahwa Tuhan
bukanlah zat yang suka murka, tapi zat yang sayang dan
kasih kepada hamba-Nya. Rasa takut hilang dan timbullah
238 | Asep Solikin dan M. Fatchurahman