Page 250 - Catatan Peradaban Islam
P. 250
mencapai ma'rifah, keyakinannya untuk memperoleh
kebenaran ternyata melalui tasawuf, bukan filsafat.
Lebih jauh mengenai ma'rifah dalam literatur tasawuf
dijumpai ungkapan berikut, pertama, kalau mata yang
terdapat di dalam hati sanubari manusia terbuka, mata
kepalanya akan tertutup dan ketika itu yang dilihatnya
hanya Allah. Kedua, ma'rifah adalah cermin. Kalau sufi
melihat ke cermin itu yang akan dilihatnya hanyalah Allah.
Ketiga, yang dilihat orang 'arif, baik sewaktu tidur maupun
sewaktu bangun hanyalah Allah. Keempat, sekiranya
ma'rifah mengambil bentuk materi, cahaya yang
disinarkannya gelap. Semua orang yang memandangnya
akan mati karena tak tahan melihat kecemerlangan dan
keindahannya.
Tetapi sufi yang dapat menangkap cahaya ma'rifah
dengan mata hatinya akan dipenuhi kalbunya dengan rasa
cinta yang mendalam kepada Tuhan. Tidak mengherankan
kalau sufi merasa tidak puas dengan stasion ma'rifah saja. Ia
ingin berada lebih dekat lagi dengan Tuhan. Ia ingin
mengalami persatuan dengan Tuhan, yang di dalam istilah
tasawuf disebut ittihad. Pengalaman ittihad ini ditonjolkan
oleh Abu Yazid al Bustami (w. 874 M). Ucapan-ucapan yang
ditinggalkannya menunjukkan bahwa untuk mencapai
ittihad diperlukan usaha yang keras dan waktu yang lama.
Seseorang pernah bertanya kepada Abu Yazid tentang
perjuangannya untuk mencapai ittihad. Ia menjawab, "Tiga
tahun," sedang umurnya waktu itu telah lebih dari tujuh
puluh tahun. Ia ingin mengatakan bahwa dalam usia tujuh
puluh tahunlah ia baru sampai ke stasion ittihad.
Sebelum sampai ke ittihad, seorang sufi harus terlebih
dahulu mengalami fana' dan baqa'. Yang dimaksud dengan
Catatan Peradaban Islam | 243