Page 271 - Catatan Peradaban Islam
P. 271
Sebenarnya filosof sejati adalah seorang yang telah
mencapai kondisi rela mati yang tidak diganggu oleh rasa
sakit baik yang khayali maupun yang real. Kematian suka-
rela ini yang berbeda dengan kematian fisik mengandung
pengertian menanggap hina akan tubuh dan membekukan
emosi-emosi, yang telah dianjurkan oleh para filosof,
terutama Plato.
Terlepas dari apakah rasa takut mati itu mesti timbul
dari rasa takut menderita, yang diyakini mempunyai
hubungan dengan kematian, yang jelas bahwa penderitaan
hanya mempengaruhi orang yang masih hidup, sedangkan
orang yang sudah mati, yang jiwanya telah bercerai dengan
tubuhnya, mengatasi segala penderitaan karena mereka
telah melampaui semua perasaan. Tetapi, andaikan orang itu
menggugat bahwa kita takut mati karena takut hukuman
yang akan menimpa setelah kematian, maka jelaslah bahwa
obyek pemahaman kita tentang kematian bukanlah
kematian itu sendiri melainkan hukuman, yang akan dapat
dihindarkan oleh orang yang bijak dengan jalan
menghindarkan diri dari dosa-dosa yang menimbulkannya.
Penyakit moral lainnya adalah yang lebih menyedihkan
yang menimpa jiwa dan yang paling baik untuk diobati oleh
filsafat adalah rasa sedih. Seperti rasa takut akan mati, rasa
sedih timbul dari kebodohan, baik kebodohan yang timbul
dari kesementaraan kondisi kehidupan kita, yakni
ketidaktahuan tentang apa yang merupakan kebahagiaan
kita yang sejati, maupun kesia-siaan untuk mencemaskan
harta benda keduniawian yang menjadi tanda kesengsaraan.
Dengan diagnosa tentang kesedihan ini dan sifat-sifat
esensialnya sebagai latar belakang, Miskawaih lalu menutup
tulisan etikanya dengan sebuah meditasi, yang diliputi eleh
semangat kejiwaan dan perasaan, tentang seni
264 | Asep Solikin dan M. Fatchurahman