Page 274 - Catatan Peradaban Islam
P. 274
Untuk menghindari adanya pertentangan antara
pendapat akal serta filsafat dan teks Al-Quran, Ibnu Rusyd
menegaskan bahwa Al-Quran itu hendaknya diberi
interpretasi sedemikian rupa atau diberi takwil. Takwil yang
dimaksudnya dalam meninggalkan makna secara harfiah
ayatnya saja dan mengambil arti secara majasinya. Hal
serupa ini menurut pendapatnya juga dilakukan oleh para
ahli fiqh dalam menetapkan hukum syariat. Karena itu
filsafat juga boleh melakukannya.
Dalam menanggapi kandungan Al-Quran, ia membagi
manusia ke dalam tiga kelompok, yaitu awam, pendebat, dan
ahli fikir. Kepada golongan Awam Al-Quran tidak dapat
ditakwilkan, karena mereka hanya dapat memahami secara
tertulis. Sedangkan kepada golongan pendebat sulit juga
dilakukan takwil. Oleh karena itu takwil hanya boleh
dilakukan oleh para ahli fikir, agar orang-orang yang bukan
ahlinya tidak dapat melakukannya. Ia juga menyetujui
pendapat bahwa Al-Quran memiliki makna bathin di
samping makna lahir yang diketahui. Sebab dalam
kenyataannya manusia memiliki naluri dan kemampuan
yang berbeda-beda. Makna bathin hanya dapat diselami oleh
ahli fikir dan filosof, dan tidak mampu dicerna oleh kaum
awam.
Jadi menurut Ibnu Rusyd, orang awam itu hanya mampu
memahami Al-Quran secara bunyi dan wujudnya saja sesuai
dengan kemampuan mereka berfikir dan menalar. Namun
tidak halnya dengan seorang yang telah mampu sampai pada
tingkat pemikiran filosofis, yang telah sampai pada arti-arti
hakiki dari Al-Quran itu sendiri. Mereka boleh mengartikan
Al-Quran secara allegorical atau secara kias yang maknanya
terdapat dalam pemahaman yang sangat dalam. Karenanya
terdapat harmoni antara Al-Quran dengan kebenaran
Catatan Peradaban Islam | 267